Biografi Syuaib Al-Arnauth
Mempelajari biografi para ulama merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada ilmu dan para pemiliknya. Melalui perjalanan hidup mereka, kita dapat meneladani keteguhan, keikhlasan, dan kesungguhan dalam menuntut ilmu serta menyebarkannya. Salah satu tokoh besar yang memiliki kontribusi luar biasa dalam dunia ilmu adalah Syu’aib Al-Arnauth, seorang ulama yang dikenal luas atas dedikasinya dalam bidang penelitian dan penerbitan karya-karya klasik.
Dalam artikel ini, kita akan menelusuri kehidupan Syu’aib Al-Arnauth, mulai dari nama dan nasabnya hingga kontribusi dan warisannya bagi generasi setelahnya. Semoga tulisan ini menjadi inspirasi dan motivasi bagi kita untuk mencintai ilmu dan terus berusaha mempelajarinya.
Nama dan nasabnya
Beliau adalah Syu’aib bin Muharram Al-Arnauth, yang berasal dari keluarga berdarah Albania. Orang Turki memberikan gelar “Al-Arnauth” (الأرنؤوط) kepada setiap pendatang dari wilayah Balkan (Yugoslavia dan Albania) ke Turki. Banyak dari mereka, setelah tiba di Turki atau sekadar singgah, melanjutkan perjalanan ke negeri Syam. [1]
Bapaknya dan hijrahnya ke Syam
Muharram, ayah dari Syekh Syu’aib Al-Arnauth, adalah seseorang yang mencintai para ulama dan sangat bersemangat untuk bergaul dengan mereka. Ia berhijrah dari Albania ke Damaskus pada sekitar usia 57 tahun (pada tahun 1926 M), demi menjaga agamanya, kemudian menetap di sana.
Syekh Ibrahim Az-Zaybaq berkata, “Termasuk yang disebutkan kepada beliau (Muharram) adalah bahwa seorang muslim, jika khawatir agamanya akan terfitnah di tanah kelahirannya, maka ia wajib berhijrah darinya. Jika tidak berhijrah, ia berada di bawah ancaman Allah Ta’ala dengan firman-Nya,
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَبِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
‘Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan menzalimi diri sendiri, para malaikat berkata, ‘Dalam keadaan apa kalian ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami adalah orang-orang yang tertindas di bumi.’ Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kalian dapat berhijrah di dalamnya?’ Maka, orang-orang itu tempatnya di neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.’ (QS. An-Nisa: 97)
Mereka juga menyebutkan kepada beliau tentang negeri Syam, bahwa itu adalah tanah terbaik untuk berhijrah, sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis Nabi yang menjelaskan keutamaan negeri tersebut dan keutamaan penduduknya.” [2]
Kelahirannya dan pertumbuhannya
Syekh Ibrahim Az-Zaybaq melanjutkan,
رُزق محرم بعد سنتين من هجرته، وذلك سنة 1928م بأول مولود له ذكر ، وقد جاءه على كبر، فسماه شعيباً، تيمناً باسم ذلك النبي الكريم.
“Dua tahun setelah hijrahnya, yaitu pada tahun 1928 M, Muharram dikaruniai anak pertama laki-laki. Anak tersebut lahir di usianya yang sudah tua, dan ia menamainya Syu’aib, sebagai bentuk optimis dengan nama Nabi Syu’aib ‘alaihis salam.” [3]
Syekh Syu’aib dibesarkan di bawah asuhan kedua orang tuanya dalam lingkungan yang religius. Dalam masa itu, ia mempelajari dasar-dasar Islam dan menghafal banyak bagian dari Al-Qur’an. Keinginan yang tulus untuk memahami makna Al-Qur’an dengan mendalam serta menyelami rahasia-rahasianya mungkin menjadi salah satu alasan terkuat yang mendorongnya untuk mempelajari bahasa Arab sejak usia dini.
Ia menghabiskan lebih dari sepuluh tahun menghadiri masjid-masjid dan sekolah-sekolah kuno di Damaskus, dengan tujuan menghadiri halaqah-halaqah ilmu bahasa Arab dalam berbagai cabangnya, seperti nahwu, sharf, sastra, balagah, dan sebagainya. [4]
Menuntut ilmu dan guru-gurunya
Syekh Syu’aib mulai menuntut ilmu sejak usia kecil. Pada tahun 1933 M/1352 H, saat usianya mencapai lima tahun, ayahnya segera membawanya ke Sekolah Swasta (Madrasah ‘Ilmiyah Tijariyah) yang terletak di Gang Ar-Razi dekat Bimaristan An-Nuri di kawasan Al-Hariqah. Di sana, ia mempelajari ilmu syariat dan bahasa Arab. Ayahnya memilihkan sekolah khusus ini untuknya, menjauhkannya dari sekolah-sekolah pemerintah yang diyakini dapat merusak para siswa dan menjauhkan mereka dari agama mereka. [5]
Syekh Syu’aib berguru dalam ilmu bahasa Arab kepada para guru dan ulama terkemuka di Damaskus pada masa itu. Di antara mereka adalah Syekh Shalih Al-Farfour dan Syekh ‘Arif Ad-Duwaji, yang keduanya merupakan murid dari ulama besar Syam pada zamannya, yaitu Syekh Badruddin Al-Hasani. Ia mempelajari karya-karya terkenal dalam bahasa dan balagah Arab, seperti Syarh Ibnu ‘Aqil, Kafiyah karya Ibnu Al-Hajib, Al-Mufashshal karya Az-Zamakhsyari, Syudzur Adz-Dzahab karya Ibnu Hisyam, serta Asrar Al-Balaghah dan Dala’il Al-I’jaz karya Al-Jurjani. Ia juga belajar kepada Syekh Sulaiman Al-Ghawji Al-Albani, yang mengajarkan kitab Al-‘Awamil karya Al-Barkawi, Al-Idzhar karya Al-Athahli, dan kitab-kitab lainnya.
Setelah perjalanan panjang dan penuh usaha dalam mempelajari bahasa Arab, Syekh Syu’aib kemudian beralih mendalami ilmu fikih Islam. Ia berguru kepada banyak ulama, khususnya dalam bidang fikih Hanafi, dengan mempelajari kitab-kitab seperti Maraqi Al-Falah karya Al-Shurunbulali, Al-Ikhtiyar karya Al-Mawshili, Al-Kitab karya Al-Quduri, serta Hasyiyah Ibnu ‘Abidin. Studi fikihnya berlangsung selama tujuh tahun, yang juga diselingi dengan mempelajari ushul fikih, tafsir Al-Qur’an, musthalah hadits, dan kitab-kitab akhlak. Pada tahap ini, usianya telah melampaui tiga puluh tahun. [6]
Kesibukan dalam meneliti
Syekh Syu’aib menyadari pentingnya spesialisasi dalam ilmu sunah setelah melihat kekurangan para ulama sezamannya dalam membedakan hadis sahih dan daif. Dengan tekad kuat, ia meninggalkan profesi mengajar bahasa Arab sejak tahun 1955 M untuk fokus pada tahqiq turats Islam.
Ia memulai tahqiq di Al-Maktab Al-Islami, Damaskus, pada tahun 1958 M, memimpin bagian tahqiq selama dua dekade dan menyelesaikan lebih dari tujuh puluh kitab. Pada tahun 1982 M, ia bergabung dengan Mu’assasah Ar-Risalah di Amman, di mana kontribusinya semakin matang dan signifikan, menjadikan lembaga tersebut pelopor kebangkitan turats Islam. [7]
Murid-muridnya
Sejumlah murid telah dididik oleh Syekh Syu’aib Al-Arna’uth dalam bidang tahqiq. Di antaranya adalah Muhammad Na’im Al-Arqasusi, Ibrahim Az-Zaybaq, ‘Adil Mursyid, dan ‘Umar Hasan Al-Qayyam. Syekh merasa gembira melihat setiap dari mereka mampu menjalankan tanggung jawab dengan benar terhadap ilmu sunah dan mandiri dalam pekerjaannya.
Pengaruh Syekh Al-Arna’uth tampak jelas pada kitab-kitab yang mereka tahqiq, sementara mereka tetap menjaga rasa hormat atas jasa dan perhatian Syekh kepada mereka. Hubungan Syekh dengan para muridnya ibarat hubungan seorang sahabat dengan teman-temannya, yaitu: dekat, penuh perhatian, dan berusaha memberi manfaat serta bimbingan. [8]
Karyanya dalam penelitian
Syekh Syu’aib termasuk di antara para muhaqqiq dengan hasil karya yang sangat produktif. Kitab-kitab yang telah beliau tahqiq atau beliau awasi tahqiq-nya mencapai lebih dari 240 jilid, mencakup berbagai bidang seperti kitab-kitab sunnah nabawiyah, fikih, tafsir Al-Qur’an, biografi, akidah, ilmu musthalah hadits, sastra, dan lainnya.
Beberapa karyanya yang paling menonjol adalah:
Pertama: Syarh As-Sunnah karya Al-Baghawi, sebanyak 16 jilid, cetakan al-Maktab Al-Islami.
Kedua: Siyar A’lam An-Nubala’ karya Adz-Dzahabi, dalam 23 jilid.
Ketiga: Musnad Imam Ahmad, diterbitkan dalam 50 jilid, sebagai bagian dari Al-Mausu’ah Al-Haditsiyyah Al-Kubra yang direncanakan untuk diterbitkan oleh Mu’assasah Ar-Risalah di bawah supervisi Syekh.
Keempat: Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah karya Ibnu Abi Al-‘Izz, tahqiq bersama Dr. Abdullah At-Turki, dalam 2 jilid; ketiga buku di atas merupakan cetakan Mu’assasah Ar-Risalah.
Kelima: At-Ta’liq Al-Mumajjad Syarh Muwaththa’ Muhammad, karya Imam Abu Al-Hasanat Muhammad Abdul Hayy Al-Laknawi Al-Hindi, dalam 4 jilid. Dalam proyek ini, beliau bekerja sama dengan Syekh Muhammad Na’im Al-Arqasusy. [9]
Wafatnya
Setelah mengabdikan hidupnya dalam penelitian dan ilmu, Syu’aib Al-Arnauth menghabiskan masa tuanya di Amman, Yordania, hingga akhir hayatnya. Beliau wafat pada hari Kamis, 26 Muharram 1438 H (27 Oktober 2016 M).
Ia meninggalkan warisan keilmuan yang luar biasa dan menjadi inspirasi bagi generasi peneliti setelahnya. Semoga Allah merahmati beliau. [10]
Hubungannya dengan Syekh Abdul Qodir Al-Arnauth
Syekh Syu’aib dan Abdul Qodir Al-Arnauth berasal dari latar belakang yang sama, yakni migran dari wilayah Balkan (Yugoslavia dan Albania) yang pindah ke Turki. Keduanya memiliki hubungan yang erat dalam bidang keilmuan, termasuk bekerja sama dalam beberapa proyek penelitian. Keduanya adalah saudara seiman (bukan saudara kandung, sebagaimana banyak yang menyangka demikian), teman seperjuangan dalam menuntut ilmu, rekan kerja, dan mitra dakwah.
Syekh Syu’aib terbiasa menuliskan nama keluarganya sebagai Al-Arna’ut (الأرنؤوط) tanpa huruf alif, sedangkan Syekh Abdul Qadir menuliskannya (الأرناؤوط) dengan huruf alif. [11]
Hubungannya dengan Syekh Al-Albani
Di antara tokoh terkenal dari kalangan Al-Arna’uth dalam ilmu hadis di Syam adalah Asy-Syekh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin bin Nuh Najati Al-Arnauthi.
Ayah Syekh Nashiruddin (Nuh Najati Adam Al-Albani) dan ayah Syekh Syu’aib (Muharram Al-Albani Al-Arnauthi) adalah dua sahabat karib. Keduanya berhijrah bersama demi menjaga agama mereka dan melindungi keluarga mereka. [12]
Syekh Syu’aib juga memiliki hubungan baik dengan Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Keduanya menekuni ilmu hadis. Meskipun, terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa hal, hubungan mereka tetap dihiasi rasa saling menghormati. Syekh Syu’aib mengatakan,
والفن الذي تميز به الشيخ ناصر هو علم الحديث النبوي الشريف، فقد انكب على دراسته سنين طويلة، قاربت الستين عاماً من عمره، بيد أن شأنه فيه شأن غيره من المحدثين قبله، يصيب فيه ويخطئ.
“Bidang ilmu yang menjadi keahlian Syekh Nashir (yaitu, Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani) adalah ilmu hadis Nabi yang mulia. Ia telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajarinya, hampir enam puluh tahun dari hidupnya. Namun, seperti para ahli hadis lainnya sebelum beliau, terkadang beliau benar dan terkadang juga salah dalam hal tersebut.” [13]
Semoga Allah Ta’ala merahmati Syekh Syu’aib Al-Arnauth dan para ulama lainnya yang telah mengabdikan hidup mereka untuk menjaga dan menyebarkan ilmu agama. Semoga amal kebaikan mereka diterima di sisi-Nya, dosa-dosa mereka diampuni, dan ilmu yang telah mereka wariskan menjadi cahaya bagi umat Islam di seluruh dunia. Kami memohon kepada Allah agar memberikan kepada kita taufik untuk mengikuti jejak mereka dalam keikhlasan dan pengabdian terhadap ilmu.
***
Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumadilawal 1446 H
Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab
Artikel asli: https://muslim.or.id/101602-biografi-syuaib-al-arnauth.html